Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) merupakan adaptasi dari Realistic Mathematics Education (RME), teori pembelajaran yang dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970-an oleh Hans Freudenthal. Menurut Hans Freudenthal (1991) bahwa di dalam pembelajaran matematika realistik, matematika sebagai suatu bentuk aktivitas manusia yang merupakan sudut pandang yang sangat jelas berbeda dengan matematika yang tercetak di buku dan tertanam dalam pikiran. Menurut Freudenthal (Van den Heuvel-Panhuizen, 1998), matematika harus dikaitkan dengan kenyataan, dekat dengan pengalaman anak dan relevan terhadap kehidupan masyarakat, untuk menjadi manusia yang bernilai.
Sejarah PMRI dimulai dari usaha mereformasi pendidikan matematika yang dilakukan oleh Tim PMRI (dimotori oleh Prof. RK Sembiring dkk) sudah dilaksanakan secara resmi mulai tahun 1998, pada saat tim memutuskan untuk mengirim sejumlah dosen pendidikan matematika dari beberapa LPTK di Indonesia untuk mengambil program S3 dalam bidang pendidikan matematika di Belanda. Selanjutnya ujicoba awal PMRI sudah dimulai sejak akhir 2001 di delapan sekolah dasar dan empat madrasah ibtidaiyah. Kemudian, PMRI mulai diterapkan secara serentak mulai kelas satu di Surabaya, Bandung dan Yogyakarta. Setelah berjalan delapan tahun, pada tahun 2009 terdapat 18 LPTK yang terlibat, yaitu 4 LPTK pertama ditambah UNJ (Jakarta), FKIP Unlam Banjarmasin, FKIP Unsri Palembang, FKIP Unsyiah (Banda Aceh), UNP (Padang), Unimed (Medan), UM (Malang), dan UNNES (Semarang), UM (Universitas Negeri Malang), dan Undiksa Singaraja, Bali, UNM Makassar, UIN Jakarta,Patimura Ambon, Unri Pekan Baru, dan Unima Manado. Selain itu juga ada Unismuh, Universitas Muhamadiyah Purwokerto dan STKIP PGRI Jombang. Jumlah sekolah yang terlibat, dalam hal ini disebut sekolah mitra LPTK tidak kurang dari 1000 sekolah.
Melihat perkembangan PMRI yang telah meningkat pesat di Indonesia, perlu diketahui pula tentang apa yang menjadi prinsip-prinsip dan karakteristik-karakteristik dari PMRI. Gravemeijer (1994) mengemukakan tiga prinsip pokok dalam Pendidikan Matematika Realistik, yaitu:
1. Penemuan terbimbing dan matematisasi progresif. 2. Fenomenologi didaktis, dan
3. Model pengembangan sendiri.
Prinsip pertama, penemuan terbimbing dan matematisasi progresif yang berarti bahwa dalam mempelajari matematika, perlu diupayakan agar siswa mempunyai pengalaman dalam menemukan sendiri berbagai konsep, prinsip matematika dan lain-lain, dengan bimbingan melalui proses matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal, seperti yang dulu pernah dialami oleh para pakar yang pertama kali menemukan atau mengembangkan konsep-konsep atau materi tersebut. Sejarah matematika dapat digunakan sebagai sumber inspirasi dalam proses pembelajaran. Secara umum salah satu yang dibutuhkan dalam menemukan masalah kontekstual adalah memberikan prosedur penyelesaian yang bermacam-macam, dapat dikerjakan secara bersama, telah memiliki cara pembelajaran yang mungkin melalui proses matematisasi progresif.
Prinsip kedua, berhubungan dengan ide fenomenologi didaktis dari Freudenthal yang mengandung arti bahwa dalam mempelajari konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan materi-materi dalam matematika, siswa berangkat dari masalah-masalah kontekstual yaitu masalah yang berasal dari dunia nyata, atau paling tidak dari masalah yang dapat dibayangkan oleh siswa sebagai masalah nyata. Berdasarkan fenomena didaktikal tersebut, situasi dimana topik matematika yang diberikan harus memenuhi dua kriteria. Pertama, untuk mengungkapkan beberapa macam aplikasi yang telah diantisipasi dalam pelajaran. Kedua, untuk mempertimbangkan kecocokannya sebagai dampak untuk proses matematisasi progresif. Oleh karena itu, tujuan investigasi fenomena tersebut adalah untuk menemukan situasi masalah dimana pendekatan spesifik terhadap situasi dapat digeneralisir, dan untuk menemukan situasi yang dapat menimbulkan skema prosedur penyelesaian yang dapat diambil sebagai dasar untuk matematisasi vertikal.
Prinsip ketiga, model pengembangan sendiri mengandung arti bahwa dalam mempelajari konsep-konsep dan materi-materi matematika dengan melalui masalah yang kontekstual, siswa mengembangkan sendiri model atau cara menyelesaikan masalah tersebut.model tersebut bertindak dalam menghubungkan antara pengetahuan informal dan matematika formal. Model tersebut dimaksudkan sebagai wahana untuk mengembangkan proses berpikir siswa, dari proses berpikir yang paling dikenal siswa, yang mungkin masih bersifat intuitif, kearah proses berpikir yang lebih formal. Melalui proses generalisasi dan formalisasi, model pada akhirnya mungkin dapat digunakan sebagai model untuk memberikan alasan matematis dalam menyelesaikan masalah kontekstual.
Selain itu, Treffers (Van den Heuvel-Panhuizen, 1998) merumuskan lima karakteristik RME yang diantaranya.
1. Menggunakan masalah kontekstual
Masalah kontekstual sebagai aplikasi dan sekaligus sebagai titik tolak dari mana matematika yang diinginkan dapat muncul. Siswa dikenalkan pada konsep dan abstraksi melalui hal-hal yang konkret dan diawali dari pengalaman siswa, bahkan dari lingkungan sekitar siswa.
2. Menggunakan model
Perhatian siswa diarahkan pada pengenalan model, skema, dan simbolisasi untuk menjembatani kesenjangan antara konkret dengan abstrak atau dari abstraksi yang satu ke abstraksi selanjutnya.
3. Menggunakan kontribusi siswa
Kontribusi siswa diharapkan paling besar dalam proses pembelajaran yang mengarahkan mereka dari metode informal kearah formal. Siswa memproduksi dan mengkonstruksi gagasan mereka, sehingga proses pembelajaran menjadi konstruktif dan produktif. Gagasan siswa dikomunikasikan kepada siswa lain dan guru, sehingga belajar matematika tidak hanya terjadi melalui aktivitas individu, melainkan juga aktivitas bersama.
4. Interaktivitas dalam proses pembelajaran
Dalam proses pembelajaran matematika, seharusnya terjalin interaksi antara siswa dengan siswa yang lainnya melalui negosiasi secara eksplisit, intervensi, kooperasi, dan evaluasi sesama siswa dan guru yang merupakan faktor penting dalam proses belajar secara konstruktif.
5. Terintegrasi dengan topik pembelajaran yang lain
Pendekatan holistik, menunjukkan bahwa unit-unit belajar tidak akan dapat dicapai secara terpisah tetapi keterkaitan dan keterintegrasian harus dieksplorasi dalam pemecahan masalah.
Buku sejarah tentang PMRI sedang dicetak sedangkan buku 10 tahun PMRI di Indonesia (A decade of PMRI in Indonesia, diterbitkan di Belanda) sudah beredar di seluruh dunia di mana buku tersebut bercover seperti di bawah ini.
References:
• Freudenthal, H. 1991. Revisiting Mathematics Education. Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
• http://p4mri.net/new/?page_id=160
• http://www.fisme.science.uu.nl/en/rme/
• Streefland, L. 1991. Realistic Mathematics Education in Primary School: On The Occasion of The Opening of The Freudenthal Institute. Utrecht: CD-β Press, Center for Science and Mathematics Education, Freudenthal Institute, Utrecht University.
• Van den Heuvel-Panhuizen, M. 1998. Realistic Mathematics Education, Work in Progress. Artikel berdasarkan perkuliahan-NORMA, dilaksanakan di Kristiansand, Norway pada tanggal 5 – 9 Juni 1998
• Van den Heuvel-Panhuizen, M. 2000. Mathematics Education in the Netherlands: A Guided Tour. Freudenthal Institute CD-Room for ICME9. Utrecht: Utrecht University.
Related Post:
Widget by [ Iptek-4u ]
0 komentar:
Post a Comment